Tolak Reklamasi Makassar
“Reklamasi Menguntungkan Siapa?”
SEKITAR lima puluh warga di empat Kecamatan yaitu Mariso, Mario, Mamajang, dan Ujungmui. Menghadiri diskusi yang diadakan Masyarakat penggarap KMP3 di rumah Gultom selaku penasehat KMP3 di JL. Mappanyuki No K9 Makassar. (17/05)
Didiskusi tersebut turut hadir dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Walhi, mahasiswa dari Universitas Muslim Indonesia (UMI), Univesitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Hasanuddin (UNHAS) dan Universitas Fajar (UNIFA).
Dalam diskusi, membahas terkait penolakan masyarakat kelurahan Panambungan dengan adanya reklamasi yang sudah berlangsung sejak tahun 2000 hingga saat ini. Tak hanya itu, tuntutan atas hak untuk mencari nafkah. Karena semenjak adanya reklamasi. Perlahan mata pencaharin masyarakat mulai hilang, serta hak kepemilikan tanah.
Sedikit menilik sejarah masyarakat pesisir pantai kelurahan panambungan makassar. Sebenarnya mereka telah menggarap pesisir pantai sejak tahun 70-an. Barulah di 2000 wali kota Makassar aktif pada saat itu, mengeluarkan surat keputusan untuk membongkar seluruh bangunan yang ada di area pesisir pantai. Dengan alasan, lokasi pesisir pantai merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Karena keterbatasan pada saat itu, masyarakat tak mempunyai kekuatan untuk melakukan penolakan. Bagaimana tidak, yang mereka hadapi adalah pemerintah dibantu dengan Angkatan Laut (AU), Angkatan Darat (AD), pihak kepolisian, satpol PP, dan polisi militer (POM). Pada saat itu, mereka dengan membabi buta membongkar habis bangunan masyarakat dengan mengatasnamakan wali kota makassar. Menurut penuturan sekretaris KMP3 Herman Tandek.
Tapi anehnya,
setelah wali kota makassar mengeluarkan SK bahwa pesisir pantai panambungan
adalah RTH. Tak lama berselang muncullah reklamasi. Bersamaan dengan itu, juga
mulai nampak oknum-oknum yang ingin menguasai daerah tersebut. Termasuk para
investor mulai berdatangan.
Belakang juga
muncul, klaim atas kepemilikan lahan tersebut atas nama Najemiah Muin yang juga
merupakan pemilik PT. Mariso Indoland. Anehnya menurut masyarakat sekitar.
Wanita berusia 70 tahun tersebut bukanlah masyarakat panambungan. Alhasil dari
mulai pembayaran pajak sampai pembelian sertifikat tanah harus melalui
najamiah. Bahkan masyarakat mendugaa. Sertifikat yang diperjualbelikan belum
tentu asli.
Dengan kondisi
seperti itu, bukannya mereka sama sekali tidak melakukan perlawanan. Kasus
tersebut sudah dilaporkan ke polrestabes bahkan polda SulSelbar. Sayangnya,
laporan tesebut tidak digubris. Bahkan pengakuan dari masyarakat. Pada saat itu
mereka mendapatkan intimidasi dari beberapa oknum TNI.
Pihak LBH yang
juga hadir pada saat diskusi mengatakan bahwa pemberhentian reklamasi yang
dilalukan di sepanjang pesisir pantai masih terbuka luas, sepanjang peraturan
daerah mengenai Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) belum disahkan.
Pihaknya kemudian menjelaskan kepada warga yang hadir. “reklamasi baik itu
penimbunan atau pengurukan harus memperhatikan masyarakat sekitar yang terkena
dampak. Jika masyarakat menolak, tidak bisa dilakukan reklamasi. Aturan
tersebut tercantum dalam UU pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebaliknya, Kalaupun
masyarakat menginginkan reklamasi harus ada ganti rugi yang layak sesuai sesuai
dengan hitungan kerugian masyarakat. Jelasnya
Dan dalam
peraturan daerah (PERDA) No 122 tahun 2012 menjelaskan bahwa reklamasi itu
harus mendapat persetujuan dari masyarakat setempat, harus mendapatkan ganti
rugi yang terkena dampak, sedangkan peraturan dari Menteri Kelautan dan
Perikanan tahun 2013 menjelaskan soal reklamasi yang bunyinya hampir sama. Yang
intinya reklamasi dalam tafsiran UU yaitu untuk meningkatkan fungsi ekosistem
laut dan wilayah pesisir, serta meningkatan perekonomian warga. Tapi nyatanya
tafsiran UU tersebut justru kontradiktif dengan kondisi yang dirasakan warga
dengan adanya reklamasi.

Komentar
Posting Komentar